Jumat, Januari 16, 2009

Majulah Perempuan


Indikasi belum setaranya tingkat kemajuan yang dicapai antara perempuan dan laki-laki adalah capaian pembangunan manusia berbasis gender yang rendah dari pembangunan manusia umumnya. Tahun 2005, indeks pembangunan manusia (IPM) 69,6, sedangkan indeks pembangunan berbasis gender (IPG) 65,1, selisih 4,5 poin (BPS, 2006).

Belum tercapainya kesetaraan gender terefleksi secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, ketidaksetaraan tercermin dari rendahnya partisipasi dan produktivitas perempuan, berakibat hilangnya peluang peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Menurut survei ESCAP, Indonesia berpotensi kehilangan 2,4 miliar dollar AS setahun karena tidak optimalnya partisipasi perempuan (Kompas, 21/4).

Sedangkan secara sosial, ketidaksetaraan tercermin dari rendahnya kualitas hidup perempuan, khususnya pada aspek kesehatan dan pendidikan. Pada gilirannya, hal itu berpengaruh negatif terhadap tumbuh-kembang anak.

Pada aspek fisik, anak yang lahir dari ibu dengan kualitas hidup rendah berpotensi memiliki berat badan lahir rendah (BBLR), kurang dari 2.500 gram. Diduga ada 300.000-400.000 bayi lahir per tahun di Tanah Air dengan berat badan rendah (Untoro, 2005). Anak dengan kondisi demikian, jika tidak ditangani serius akan mengalami kematian atau keterlambatan perkembangan fisik dan kecerdasan.

Tak heran, angka kematian bayi (AKB) di Tanah Air masih terbilang tinggi, lebih tinggi dari beberapa negara anggota ASEAN. Adapun AKB di Indonesia sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di Brunei Darussalam 8,0 persen,
Singapura 3,0 persen, Malaysia 10 persen, Vietnam 16 persen, Thailand 18 persen, dan Filipina 25 persen (http://www.childinfo.org/areas/childmortality/infantdata.php, April 2007).

Selain berisiko kematian tinggi, kondisi pendidikan anak juga memprihatinkan. Sekitar 12 per 1.000 anak usia 16-18 tahun menyandang buta huruf. Secara keseluruhan, sembilan dari setiap 100 orang penduduk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 90,9 persen menyandang buta huruf pada 2005. Sementara rata-rata lama sekolah hanya 7,3 tahun (BPS, 2006).

Salah satu penyebab tingginya AKB dan rendahnya pendidikan anak di Tanah Air adalah masih kurangnya peran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga. Hal ini termanifestasi dalam kontrol pendapatan rumah tangga (control the cash) dan merupakan akibat jangka panjang dari rendahnya tingkat pendidikan serta pengetahuan perempuan.

Diperkirakan, kian besar control the cash, kualitas anak kian meningkat. Pengalaman di Brasilia, Brasil, menunjukkan, perempuan yang memiliki control the cash menyebabkan perbaikan status gizi keluarga tujuh kali lebih besar dibanding jika control the cash dilakukan laki-laki. Hal itu berakibat peluang anak yang dilahirkan bertahan hidup menjadi 20 kali lebih besar (UNDP, 1996).

Control the cash bagi perempuan diperkirakan tidak hanya pada konsumsi pangan, tetapi juga pendidikan dan kesehatan anak. Hal ini bersentuhan dengan pembangunan manusia. Atas dasar itu, sebenarnya banyak kasus kematian dan ketelantaran pendidikan anak dapat dicegah. Namun, hal itu sering tidak dapat dilakukan karena faktor control the cash. Untuk mencegah tiga penyakit utama penyebab kematian anak, pneumonia, diare, dan malaria, misalnya, ternyata amat murah.

USAID (2007) melaporkan, biaya pencegahan pneumonia dengan antibiotika 25 sen dollar AS (Rp 2.340). Biaya pencegahan diare dengan oralit 6 sen dollar AS (Rp 540). Biaya pencegahan malaria dengan pil antimalaria 12 sen dollar AS (Rp 1.080).

Dalam banyak kasus, program-program yang digulirkan oleh pemerintah seringkali terkendala ketika dihadapkan pada tataran keluarga. Kurangnya pelibatan perempuan di dalam pengambilan keputusan-keputusan dalam keluarga sedikit banyak merupakan indikasi lemahnya posisi perempuan. Karena itu, diperlukan komitmen semua pihak guna meningkatkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan keluarga berupa control the cash. Peningkatan peran itu tidak harus dari pemerintah, tetapi berawal dari rumah tangga. Sikap keluarga yang kurang memanusiakan anggota keluarga perempuan secara akumulasi akan mendistorsi kualitas anak bangsa. Karena itu, masa depan bangsa amat ditentukan bagaimana kita memperlakukan perempuan.


Disarikan dari berbagai sumber.

1 komentar:

  1. Anonim6:34 PM

    Tapi sekarang wanita-wanita kebanyakan menuntut... Mereka tidak lagi bisa menjaga etika kesopanan, terutama dalam berpakaian. Bagai mana kaum lelaki mau menghormati dan menghargai jika mereka sendiri tidak bisa menghargai diri sendiri. bagaimana banyaknya pemerkosaan saat ini memang salah satu contoh dari akibat tersebut. Remaja saat ini banyak yang berpakaian tapi seperti tidak berpakaian....

    BalasHapus